ACEH NEWS-OLEH Dr SAMSUARDI MA, Ketua Lembaga Pemantau Pendidikan Aceh (LP2A)
PASCA dilantiknya Ahmad Marzuki sebagai Pj Gubernur Aceh Rabu 6 Juli 2022, genap 15 tahun Aceh dipimpin tiga gubernur hasil pemilihan rakyat mulai periode Irwandi- Nazar (2007-2011), Zaini-Muzakir (2012-2017), hingga Irwandi-Nova Iriansyah (2017-2022).
Kepemimpinan 3 Gubernur Aceh menyisakan beban pekerjaan yang harus dituntaskan oleh Pj Gubernur Aceh.
Pertama; terkait tingginya angka kemiskinan Aceh hingga September 2021 mencapai 15,53 persen tertinggi secara nasional (Rilis BPS 2021).
Kedua; terpuruknya sektor pendidikan Aceh ditandai tingkat kelulusan Ujian Nasional (UN) siswa Aceh hingga tahun 2013 terendah secara nasional di bawah Papua.
Berbagai data faktual terpuruknya mutu pendidikan membutuhkan kiprah PJ Gubernur Aceh untuk membuat terobosan guna menuntaskan problem pendidikan dan pengentasan kemiskinan di Aceh.
Di tengah kucuran anggaran Otsus Aceh mulai tahun 2008 hingga 2021 mencapai 88,838 triliun, dan jika dirata- ratakan angkanya mencapai 2.4 triliunan per tahun yang dikelola Disdik Aceh.
Sayangnya, anggaran besar belum menjamin perbaikan mutu pendidikan Aceh, malah semakin diperparah akibat lemahnya kinerja pejabat publik yang mengurusi pendidikan.(kajian Analisis Mutu Pendidikan Aceh oleh BAPPEDA Aceh).
Hasil pemantauan pelaksanaan UN tahun 2019, terbukti tidak ada perbaikan apa pun atas rendahnya kelulusan siswa (SMA/ SMK) Aceh yang capaian nilainya malah diperingkat akhir nasional dari seluruh provinsi lain di Indonesia dengan nilai rata-rata 40.0 poin.
(lihat Source: World Bank, based on Ministry Of Education and Culture data, 2019, https:// hasilun,puspendi, kemendikbud.go.ig).
Bahkan hasil Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK), Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2021, Aceh tetap di peringkat 28 terbawah kelulusan siswa dengan nilai rata-rata 446.7 poin di bidang pemahaman bacaan dan menulis siswa.(Dr Samsuardi, Menyoal Rendahnya Mutu Pendidikan Aceh, Serambi Indonesia).
Klaim Disdik Aceh Ironis memang, di tengah berbagai kritikan atas kegagalan pemerintah Aceh, Kadisdik Aceh malah mengklaim mutu pendidikan saat ini masuk peringkat 5 kelulusan terbaik nasional atas tingginya persentase lulus tes Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) siswa Aceh (2021-2022) yang menunjukkan adanya perbaikan mutu pendidikan Aceh lebih baik dari daerah lain.
Merespons klaim kadisdik Aceh, setidaknya ada beberapa argumentasi sanggahan membantah keseluruhan argumentasi Disdik Aceh; Pertama; Tingginya persentase kelulusan SNMPTN dan SBMPTN siswa Aceh (2021- 2022) masuk peringkat 5 nasional tidak ada kaitannya dengan perbaikan mutu kelulusan siswa Aceh yang lebih baik dari provinsi lainnya di Indonesia.
Prof Dr Muhammad Nasih selaku ketua Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi Negeri (LTMPTN) periode 2021, telah membantah klaim tingginya persentase kelulusan SNMPTN dan SBMPTN siswa bukan parameter untuk mengukur dan membandingkan mutu kelulusan siswa suatu daerah lebih unggul dari provinsi lainnya, karena persentase kelulusan hanya sekedar melihat sejauh mana keberhasilan siswa suatu daerah berhasil melanjutkan studinya ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN)? sehingga tidak mengalami stagnasi pendidikan.
baca juga:Diplomasi Kuliner Aceh, Sebuah Keniscayaan
Jadi, klaim tingginya persentase kelulusan SBMPTN siswa Aceh tidak ada kaitannya dengan perbaikan mutu kelulusan siswa, apalagi men-framing seolah mutu kelulusan siswa SMA/SMK Aceh sudah lebih unggul dari siswa DKI Jakarta, Jogjakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga provinsi lainnya.
Kedua; Setiap kampus memiliki batas skor nilai (passing grade) kelulusan masuk di suatu PTN yang ada kalanya mengharuskan nilai siswa di angka 300,400,500,600, bahkah ada kampus tertentu yang mengharuskan skor nilai siswa di atas 700 poin sesuai keunggulan jurusan dan universitas dipilih.
Untuk itu, tingginya persentase kelulusan SBMPTN siswa Aceh belum menjamin lebih unggul mutu siswanya dari provinsi lainnya, mengingat lebih 80 % siswa Aceh hanya lulus diterima pada PTN lokal dengan passing grade berkisar 400-500 poin, dan sangat terbatas lulus di kampus selevel UI, ITB, ITS, UNDIP, IPB, UGM, UNAIR, UPI, serta universitas terbaik lainnya yang mengharuskan passing grade di atas skor 600 poin.
Bahkan jika mencermati kasus siswa tes SBMPTN di Universitas Indonesia (UI) tahun 2022, ternyata ada siswa yang mencapai nilai 747 skor, ternyata tidak lewat di UI sebagai bukti ketatnya persaingan untuk bisa lolos di fakultas kedokteran UI.
Melalui argumentasi ini, terbukti jika klaim kadisdik Aceh terlalu premature dan paradoks, di tengah provinsi lain berlomba menargetkan sebanyak mungkin kelulusan siswanya pada PTN terbaik, kadisdik Aceh malah mengklaim paling berhasil mendongkrak mutu kelulusan siswa yang mengandalkan persentase kelulusan SBMPTN di PTN lokal.
Ketiga: Jika mau fair memperbandingkan kualitas kelulusan siswa Aceh lulus jalur SBMPTN, sebaiknya kadisdik Aceh buka laporan lengkap pelaksanaan SBMPTN Tahun 2021.
Di sana ditemukan slide capaian nilai rata-rata siswa Aceh bidang saintek, sosial hukum, dan pemahaman bacaan yang membuktikan semua komponen pengetesan siswa Aceh tertinggal jauh dari siswa lain di pulau Jawa, bahkan terendah di bawah Papua dan Sumatra.
Itu artinya untuk mengukur mutu kelulusan siswa suatu daerah bukanlah didasarkan pada tingginya persentase kelulusan SBMPTN, melainkan seberapa tinggi capaian skor nilai rata-rata kelulusan siswa Aceh jika dibandingkan dengan daerah lain di 34 provinsi Indonesia.
(laporan pelaksanaan SNMPTN dan UTBK-SBMPTN Tahun 2021) selain rendahnya mutu kelulusan siswa, keterpurukan pendidikan Aceh juga terpantau secara jelas atas kegagalan kadisdik Aceh mencapai target pembangunan pendidikan sesuai Renstra Disdik Aceh.
Misalnya target 80 % guru di Aceh harus tersertifikasi tahun 2017, faktanya hanya 43 % yang baru tersertifikasi hingga tahun 2022.
Kemudian target membangun database pendidikan rampung 2017, faktanya UPTD Telkomdik Aceh hingga saat ini belum memiliki database pendidikan yang terintegrasi, sehingga setiap kebijakan Disdik Aceh tidak didasarkan pada kajian riset autentik, malah sekedar melanjutkan program rutinitas dinas yang sekedar menghabiskan anggaran, tidak fokus pemecahan isu krusial pendidikan.
Sebagai contoh mengenai project pelatihan guru yang diadakan setiap akhir tahun tanpa dilakukan evaluasi tingkat efektitas penyelenggaraannya, publik malah menyangsikan keberhasilan “proyek” rutinitas Disdik Aceh yang menelan anggaran milyaran rupiah, mengingat hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) Aceh masih tetap berada di peringkat 3 terbawah secara nasional di bawah Papua dengan skor 48.33 poin.(lihat web data Neraca Pendidikan Daerah).
Solusi mengevaluasi Lemahnya kinerja Kadisdik Aceh bukan tidak beralasan, mengingat setiap rezim kekuasaan sering kali gontaganti penempatan pejabat publik Aceh tanpa memperhatikan profil rekam jejak yang mumpuni.
Sering dalam praktiknya, pejabat instasi dinas lain digeser posisinya ke jabatan eselon II dan III pada Disdik Aceh tanpa mempertimbangkan keahlian atau kompetensi, integritas serta komitmen bersungguh-sungguh menuntaskan problem pendidikan.
Sehingga kepemimpinan Disdik Aceh selama ini lebih dominan pada program pencitraan dan kita yakini bakal terus mengulang kegagalan yang sama gagal memecahkan kompleksitas masalah pendidikan.
Disebutkan “jika suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”.(HR Bukhari).
Untuk itu, Pj Gubenur Ahmad Marzuki harus mengambil peran dan otoritatif yang dimilikinya untuk segera mengevaluasi kegagalan kinerja kadisdik Aceh, sehingga ke depan bisa cermat memilih figur pejabat publik yang memiliki pemahaman komprehensif (menyeluruh) dan mengerti secara substantif problem sistemik pendidikan Aceh dengan membuat kebijakan yang lebih berkualitas tanpa penggirigan opini yang tidak valid “HOAX”.