ACEH NEWS-Advokat dan Pegiat Sahabat Kuliner Aceh, Jakarta
BENCANA gempa dan tsunami Aceh 26 Desember 2004 lalu, menjadi momentum paling baik dan strategis bagi pengenalan kuliner Aceh bukan saja di level lokal dan nasional, melainkan lebih jauh level internasional.
Ribuan pegiat kemanusiaan yang datang ke Aceh bersama bala bantuan untuk korban bencana, menetap dan bekerja di Aceh selama satu sampai lima tahun, membuat mereka terbiasa dengan makan masakan Aceh. Sebagian sahabat saya orang non Aceh mengatakan, “Masakan Aceh hanya dua pilihan, enak dan enak bangets!”
Paska bencana tsunami dan para pegiat kemanusiaan mulai kembali ke negeri asalnya, mereka mulai mencari kuliner Aceh di kotanya.
Sebagian menemukan warung, kedai atau restoran Aceh, sebagian lagi harus berusaha menelepon sahabatnya di Aceh untuk menanyakan resep masakan tertentu.
Bahkan sebagiannya harus mengeluarkan modal untuk mulai berbisnis, membuka resto Aceh di kotanya.
Kuah beulangong, mi Aceh, kari bebek, ayam tangkap dan kupi Aceh, adalah kuliner yang paling mereka gemari dan cari.
Tak jarang, kalau jarak tinggal mereka dengan Aceh misalnya hanya dua atau tiga jam penerbangan, mereka datang kembali ke Aceh hanya untuk mengobati kangen dengan masakan Aceh.
Gelombang massa (pegiat kemanusiaan) yang datang ke Aceh membantu rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, membawa pengaruh pada pengenalan kuliner Aceh secara lebih masif pula bagi mereka.
Selama lebih kurang lima tahun para pekerja kemanusiaan dan rehab rekon Aceh memberi pengaruh tersebut.
Selain itu, pengaruh dari masifnya warung kopi di Aceh dengan sebutan “Kota Seribu Warung” memberi kesan tersendiri bagi siapa pun yang pernah datang ke Aceh, baik sebagai pekerja rehab-rekon, turis, dan penziarah.
Kedai kopi sudah menjadi destinasi baru bagi para wisatawan baik lokal maupun internasional.
Oleh karena itu, bidang usaha kafe & resto Aceh, dengan menu berbahan kopi dan masakan khas Aceh merupakan salah satu bidang usaha yang berkembang secara sangat pesat bukan saja di Aceh tetapi di berbagai kota di Indonesia terutama di Jakarta di tengah kondisi perekonomian Indonesia yang bergerak maju saat ini.
Keunikan dari kopi dan masakan Aceh ini juga dapat dijadikan sarana untuk memuaskan konsumen, karena akan menghasilkan image positif yang akan selalu diingat oleh para konsumen.
Ikhtiar untuk membangun usaha bisnis ini dengan memiliki ciri khas dari menu-menu yang akan disajikan nanti, dengan menginovasikan biji kopi menjadi espresso yang dapat dibuat berbagai variasi untuk menu-menu minumannya, baik yang panas ataupun yang dingin.
baca juga:Disbudpar Adakan Festival Kuliner
Sedangkan untuk menu-menu makanannya, diolah oleh seorang chef profesional yang sudah berpengalaman, yang dikontrak dan dibawa dari Aceh dengan menu khas Ayam Tangkap dan Kuah Beulangong, tetapi tetap berpegang pada alur konsep yang sudah ditetapkan, sehingga terciptalah makanan yang enak dan sehat.
Setelah dua dasawarsa paska bencana gempa dan tsunami, kuliner Aceh kini menjadi salah satu pilihan menu ketika kita mendatangi kafe dan resto, bukan saja di Aceh tetapi juga di banyak kota di Indonesia, terutama Kopi Aceh, Kopi Gayo, Sanger, Ayam Tangkap dan Mi Aceh.
Beberapa pekan lalu saya masuk sebuah kafe di sebuah mall di Kota Palembang. Ketika melihat daftar menu yang mereka berikan, saya melihat ada Mi Aceh dalam daftar menu.
Lalu saya memilih menu itu, dan ternyata ketika dihidangkan, rasanya memenuhi standar untuk disebut Mi Aceh.
Penasaran, saya mengajak pramusaji untuk mengobrol. Beberapa pertanyaan saya, seperti apakah pemilik resto, chef atau pengelola resto itu orang Aceh, semuanya dijawab dengan satu kata: Tidak
Maraknya pembukaan warung, kedai, kafe atau resto berlabel Aceh di Kota Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia, menjadi suatu sinyal bahwa kuliner Aceh diterima dan kini menjadi satu pilihan menu di antara ribuan makanan yang ada.
Sahabat Kuliner Aceh, sebuah komunitas untuk mempromosikan dan mendiplomasikan kuliner Aceh di Jabodetabek sendiri menargetkan memindahkan gelar Kota Seribu Warung untuk Banda Aceh menjadi, Kota Seribu Warung Aceh di Jabodetabek.
Sayangnya, semua warung-warung Aceh yang ada dan bertumbuh di Jabodetabek itu, sama sekali luput dari perhatian, sentuhan, dan bantuan dari Pemerintah Aceh, dari zaman dulu sampai kini.
Pemerintah Aceh belum melirik itu sebagai potensi bisnis yang menjadi andalan dalam memakmurkan warga Aceh.
Pengalaman selama ini, Kantor Penghubung Aceh di Jakarta, lebih tertarik menyediakan dana untuk memfasilitasi pemulangan jenazah orang Aceh yang meninggal di Jakarta daripada menyediakan dana untuk memberikan bantuan modal bagi pegiat bisnis kuliner Aceh.
Ini berbeda sekali dengan masa awal pertumbuhan Warung Padang di perantauan.
Mereka bukan saja mendapatkan bantuan modal atau tambahan modal, tetapi juga mendapatkan bantuan teknis, edukasi, dan promosi dari pemerintah provinsi urang awak itu.
Maka tak heran misalnya, Kota Sawahlunto di Sumatera Barat menjadi daerah dengan tingkat kemiskinan terendah seluruh Indonesia.
Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menempatkan Sawahlunto di peringkat pertama persentase penduduk miskin paling sedikit tahun 2021, yakni hanya 2,38 persen.
Angka ini jauh dari rata-rata angka kemiskinan nasional yang mencapai 10,14 persen.
Ketika pemerintah lain sibuk memikirkan bisnis karena itu akan menyuplai kesejahteraan banyak orang, Pemerintah Aceh lebih tertarik memfasilitasi orang mati, bahkan sampai biaya pemulangan jenazah pun ditanggulangi.
Diplomasi kuliner
Festival Kuliner Aceh yang diadakan 15 Januari lalu di Bogor Jawa Barat memberikan sinyal bahwa diplomasi kuliner Aceh terus berjalan maju, dengan nada atau tanpa dukungan Pemerintah Aceh.
Terlepas dari beberapa kelemahan panitia penyelenggara, tetapi dari sisi promosi dan diplomasi kuliner Aceh, saya bisa memberikan nilai 9 untuk acara yang dipimpin Jenderal Herianto Sahputra itu.
Sahabat Kuliner Aceh akan menggelar Diplomasi Kuliner Aceh ke-3 di Bali medio tahun ini, dan akan menyambut Ramadhan 2023 dengan kegiatan Sanger Day di Pusat Jantung Ibukota.
Kita, para pegiat, praktisi atau promotor kuliner Aceh, akan menunggu, apakah Pemerintah Aceh hanya kembali akan menjadi penonton? Atau akan turut serta di dalamnya. Kita tunggu saja.